Salah satu guru ngajiku pernah menasihatkan kepada santrinya, salah satunya
aku, untuk memilki sahabat dalam hidup ini. Sahabat berbeda dengan kawan.
Sahabat jumlahnya hanya sedikit. Bahkan kalau dihitung, jumlahnya pasti tidak
akan melebihi 5 orang.
Mempunyai sahabat bagi seorang muslimah menjadi hal yang esensial. Salah satunya adalah untuk
menghindarkan adanya fitnah hati. Ustadz Syatori Abdura’uf mendefinisikan
fitnah hati sebagai perasaan yang seharusnya tidak dikembangkan oleh seseorang.
Contohnya adalah mengembangkan perasaan suka dengan lawan jenis yang bukan
menjadi mahramnya. Setiap manusia pasti mempunyai masalah. Dan, perempuan pasti
membutuhkan teman untuk sekedar berbagi masalah tersebut. Jika dia memilih
seorang laki laki menjadi sahabatnya, dan mencurahkan isi hatinya tersebut
kepada laki laki itu, maka yang bermain disana adalah hati, dan sangat mungkin
untuk keduanya tumbuh perasaan suka (red: cinta). Fatal bukan?
Untuk itulah Islam menganjurkan untuk mencari sahabat sesama jenis. Heh,
indah ya Islam itu!
Well, dan perkenalkanlah salah satu sahabatku di dunia ini. Dia kutemukan
dalam perjalananku mencari jati diri di sebuah tanah yang sangat asing bagiku,
tanah Malinau. Kwkwkw. Tidak kusangka sebelumnya aku akan bertemu dengan sosok
seperti dia. Let’s throw back.
Dua hari kedatanganku di Malinau, aku diajak oleh keluarga tarbiyah
mengikuti agenda rutin mereka, yakni rihlah
(red: rekreasi). Karena aku belum mengetahui tempat dan tentu tidak punya
transportasi, maka dialah yang menjemputku. Hey, kagetnya aku melihat sosoknya.
Tubuhnya sangat tinggi, orang jawa menyebut tubuh setinggi itu dengan julukan genter . Tidak banyak senyum, dan
terkesan sedikit arogan, jutek, dan tidak friendly.
“ih ni orang tarbiyah koq dingin nya kayak gini”, komentar spontan hatiku waktu
itu.
Belakangan ku ketahui namanya adalah Puri. Angkatan kuliah satu tahun lebih
di atasku, namun umur kami sama. Penduduk asli Kalimantan, namun ada keturunan
darah jawa nya. Bergolongan darah AB. Tidak banyak bicara. Care. Semangat
menuntut ilmu yang tinggi. Sangat tertutup.
Selama di Malinau, dia menjadi partner dalam kegiatan di keluarga tarbiyah.
Kami sering bertemu, kami sering berdiskusi, dan tak jarang kami sering
bertukar isi perasaan. Ternyata, waktu demi waktu, kami merasa klop satu sama
lain. Dan, pada suatu ketika, diriku mendaulat dia menjadi salah satu
sahabatku.
Kata kakek Jamil Azzaini, seorang sahabat adalah dia yang sedikitnya
mempunyai tiga hal yaitu sumber inspirasi, supporter, dan controller.
Sumber inspirasi. Yup, tentu. Mbak Puri adalah sumber inspirasiku. Obroloan
kami tidak hanya sekedar mengobrolkan masalah yang dangkal, namun lebih kepada
bertukar dengan ide, gagasan, dan cita cita. Ide ide nya dan gagasanya untuk
mendidik generasi menjadi generasi rabbani membuatku terkagum kagum.
Kegigihanya untuk terus mengupgrade keilmuan islam turut juga menulariku.
Kehati hatinya dalam menjaga aurat menggerakkanku untuk menirunya
Supporter. Yup, mba Puri adalah sosok yang selalu menyemangatiku. Ketika
aku lagi demotivasi, dia adalah orang yang kulirik untuk kujadikan tempat
sampah. Dia selalu datang lewat pesan singkatnya untuk memberikan apresiasi
pada prestasi prestasi hidupku. Mba Puri pun yang tiada lelah menjadi pendukungku
untuk meraih cita citaku. Saat aku galau pekerjaan, aku konsultasi dengan dia.
Saat aku galau kuliah, pun dia yang memberikanku solusi solusi. Thanks bro!
Controller. Sahabat yang baik bukan hanya sebagai sumber inspirasi dan
supporter, ia juga berpersan sebagai controller. Ia tak segan mengingatkan
ketika temanya berbuat kekeliruan. Mba puri selalu menanyakan tentang liqoku. Mba Puri selalu mengirimkan kisah
kisah inspiratif dan pengingat di layar handphoneku.
Heh, sungguh nikmatnya mempunyai sahabat yang tepat. Terimakasih sahabat.
Semoga kita diberikan keistiqomahan sampai akhir hayat, dan berakhir dalam
khusnul khatimah.
#mbak bantu saia recall moment indah di Malinau, nanti tak tulisnya. Kwkwkkwkwkw
Be First to Post Comment !
Posting Komentar